Where are you?

Setting: area jalanan hutan menuju ke Alice Graveyard

Ayuri berlari terus tidak peduli keringat yang mulai muncul di badannya. Dia terus mencari anak anjingnya yang tiba2 saja menghilang. Ia kemudian berhenti untuk mengatur staminanya.

Terdengar gemerisik daun-daun kering terinjak oleh langkah urakan tapi pasti. Nauka mengerling, tersenyum tipis, lalu memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana jeans gelapnya.

Tiba-tiba suara daun-daun itu hilang. Hening.

Dan dengan kedipan mata sebuah moncong pistol telah tertempel tepat di pipi Ayuri, jari kurus Nauka siap siaga pada pelatuknya.

"Hai."

Karena merasa lelah, Ayuri masih belum bisa berkonsentrasi dengan sekitarnya. Sewaktu Nauka datang dan memoncongkan pistol mainannya ke arah pipinya, wanita ini secara otomatis langsung menepis tangannya Nauka dan siap untuk menonjok lelaki tersebut.

Namun untungnya wanita berambut merah ini langsung sadar dengan siapa dia akan meninju dan berhenti mendadak sewaktu tangan yang dikepalnya menyentuh hidung Nauka.

Mata Nauka tak berkedip, air mukanya tenang. Ia meraih kepalan tangan Ayuri, membawanya turun dari hidungnya. Dan tepat saat kepalan itu mendekati bibirnya, ia membuka mulut dan menjilat pelan kulit Ayuri.

Ia kembali tersenyum, menanti reaksi. Ekspresinya benar-benar seperti anak penuh keingin tahuan yang sedang melakukan eksperimen kecilnya.

BUAK!!

Suara pukulan yang berasal dari tangan satunya lagi. Entah apa itu beruntung atau apa karena dia sama sekali tidak menggunakan Alice-nya untuk menimpuk lelaki yang baginya sama sekali tidak berubah, masih sama anehnya 7 tahun yang lalu.

Otomatis Nauka terjengkal ke belakang dan jatuh di tanah. Ia merintih, tapi tampak puas. Mungkin ia tidak sepenuhnya tidak berubah--mungkin ia telah berubah jadi masochist.

Ia mengangkat kepalanya dan tertawa kecil.

"Kamu banyak berubah. Jadi lebih... agresif ya?" komentarnya pelan.

Ia lalu bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pelan, seperti akan menyentuh wajah Ayuri. Tapi ia berhenti tepat beberapa senti dari kulit wajahnya, seperti mengejek dan memanas-manasi.

"Kau sama sekali tidak berubah..." ujarnya pelan tidak bergerak dari tempat namun matanya menatap tajam kepada Nauka meski bila dilihat wajahnya tanpa emosi.

"Tidak," Nauka membentuk tangannya seolah-olah ia memegang sesuatu, seperti pistol yang tak terlihat. "Aku banyak berubah."

Ia lalu menyentuh dagu Ayuri dengan tangannya yang lain, menengadahkan wajah Ayuri ke atas. Lalu ia menempelkan pistol imajinasinya ke leher Ayuri.

"Aku tidak sama."

"..." Ayuri hanya terdiam saja. Dia sama sekali tidak bergerak dari posisinya, entah apa yang wanita ini pikirkan. "Apa yang kau lakukan?" tanya wanita berkacamata ini terus menatap kepada Nauka yang 'main todong'.

Tanpa ragu, Nauka membalas tatapan tajam itu dengan tatapannya yang penuh makna--mungkin terlalu bermakna sehingga sulit ditemukan apa makna sebenarnya. Makna demi makna, pikiran demi pikiran, pesan demi pesan. Terlalu banyak untuk diketahui intinya.

Ia menarik sebuah senyuman yang lebar, memamerkan gigi putihnya yang berderet rapi.

"Tebak!" tantangnya.

"...tebak?" bingungnya dengan masih tetap di posisinya. Namun wanita ini juga penasaran dengan apa yang pria tersebut lakukan. Kalau yang dia lihat, sepertinya Nauka tampaknya sedang seperti menembak. Tapi Ayuri tetap diam.

Nauka menunggu, tapi ia bukan tipe orang yang bisa menunggu. Selang beberapa saat dalam sepi, ia akhirnya menurunkan kedua tangannya dan mengangkat bahu.

"Sepertinya 7 tahun tidak membuatmu lebih pintar," Ia mengambil satu langkah mundur, mengatur jarak dengan Ayuri--persis seperti 7 tahun yang lalu, dimana ia, meskipun tampak terbuka, tetap berhati-hati pada perempuan itu. Atau lebih tepatnya, menjaga dirinya sendiri sebelum lelaki itu lepas kontrol. "Apa saja yang kamu lakukan selama aku tidak ada?"

"Menutup diri? Tetap dalam... trauma?"

Perkataan Nauka mengenai trauma bisa dibilang mengenai sasaran bagi wanita muda ini. "..." dia menatap ke arah lain sambil menundukkan kepalanya, rambut merahnya yang sedikit panjang itu menutup sebagian wajahnya. Entah apa yang dia sembunyikan dari balik wajahnya, tidak...masa lalunya selama Nauka tidak ada.

"...benar..." jawabnya pelan

"Masih melakukan misi? Masih menurut saja? Masih diam? Masih berpikir membisu itu lebih baik?" Nadanya meninggi dengan tiap pertanyaan yang terucap. Ekspresinya sedikit berubah, meskipun terlihat jelas ia berusaha mempertahankan topengnya. Dadanya terlihat naik-turun, nafasnya tidak stabil.

"Masih seperti itu?"

Ia menutup mata, mengatur nafas. Perlahan-lahan ia kembali tenang.

Ia melangkah maju lalu membentangkan kedua tangannya ke samping.

"...Masih tidak mau memberiku kesempatan?"

Suaranya terdengar memohon, meskipun ia berdiri tegak dan penuh percaya diri.

"Masih melakukan misi? Masih menurut saja? Masih diam? Masih berpikir membisu itu lebih baik?" Nadanya meninggi dengan tiap pertanyaan yang terucap. Ekspresinya sedikit berubah, meskipun terlihat jelas ia berusaha mempertahankan topengnya. Dadanya terlihat naik-turun, nafasnya tidak stabil.

"Masih seperti itu?"

"..." Ayuri tetap diam lebih tepatnya dia tidak tahu harus bilang apa dengan Nauka. Setiap pertanyaannya yang dilontarkan benar2 mengenai sasaran.

"...Kau tidak mengerti...apapun..." ujarnya kecil masih menundukkan kepalanya.

"...Masih tidak mau memberiku kesempatan?"

Wajah Ayuri perlahan diangkat dan melihat pria tersebut membentangkan kedua tangannya. Apa maksudnya?

"...kesempatan?"

Ryuha depresi, dia hari ini terpaksa membolos untuk mengajar. Ryuha tidak ada tempat lain untuk berkunjung, dia sudah bosan dengan suasana2 sekitarnya, jadi dia memutuskan untuk mengunjugi kuburan kakaknya.

Pada waktu di sana, Ryuha melihat pada waktu Ayuri memukul Nauka hingga jatuh, setelah itu debat. Ryuha tidak keluar, dia melihat sekitar dulu, jadi dia sembunyi di belakang pohon.

"Tentu saja aku tidak mengerti! Kenapa lagi aku bertanya?" balas Nauka.

Ia menunggu sesaat, tapi Ayuri tidak memberikan reaksi yang diharapkannya.

Nauka mengambil satu langkah besar ke depan, lalu menarik Ayuri ke dalam pelukannya. Lengannya telah banyak berubah; lebih panjang, lebih putih, lebih kuat. Ia menebak Ayuri akan kabur, dan mengunci lengannya lebih kuat.

"Jadi, apa kamu mau memberi aku kesempatan untuk mengerti?"

Meski Ayuri tidak beremosi, namun pelukan yang diberikan oleh Nauka membuatnya tersentak kecil. Mau melepaskan pelukannya tidak ada gunanya karena perbedaan kekuatan. Dia juga tidak menggunakan transformation alice untuk menghajar orang itu, apa...dia tidak tega memukul sahabatnya yang dulunya sempat 'bersimpati' dengannya?

"Jadi, apa kamu mau memberi aku kesempatan untuk mengerti?"

"..." wanita ini diam, tidak berkata apa2. Dia teringat akan perkataan Ryuen sewaktu di ruang pasien. Benar perkataannya, sampai kapan ia harus meratapi masa lalu? Apa gunanya ia bersama orang2 di sekitar yang begitu menyayanginya? Meski seperti itu, wanita berambut merah ini tidak bisa berkata, tidak, dia tidak mampu mengungkapkan perasaannya kepada siapapun. Apa 'jawaban' yang sebenarnya Ryuen maksud?

Setetes air mata mengalir di pipinya, ia...menangis? Aliran air mata yang sama sewaktu kematian Azure 7 tahun yang lalu, di mana kesedihan yang amat sangat pada dirinya terjadi. Hal itu sekarang terjadi juga. Ia mengalirkan air matanya dalam pelukannya Nauka.

Nauka tidak dapat melihat wajah Ayuri, tapi ia merasakan pundaknya terkena tetesan hangat. Dengan ragu-ragu ia mengangkat tangannya untuk mengelus rambut merah halus Ayuri. Jemarinya menyisir lembut helaian rambut yang panjang itu.

"...Ceritakan," ujarnya dengan suara rendah. "Ceritakan."

Ia mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap punggung Ayuri, memberikan beberapa tepukan pelan untuk menenangkan Ayuri.

"Ya? Ceritakan padaku, ya?"

"Ya? Ceritakan padaku, ya?"

Air matanya terus mengalir namun suara isakkan sama sekali tidak terdengar. Namun bisa dipastikan, wanita ini sangat sedih. "...aku...sudah tidak tahu lagi harus ke mana..." ujar Ayuri pelan.

"...kenapa...setiap orang yang kusayangi harus mati? Aku...tidak menghendakinya...sama sekali..." lanjutnya

"...Yang kamu benci juga akan mati kok. Baik kamu menghendakinya atau tidak, meskipun kamu tidak--" Kata-katanya terputus. Nauka menggigit bibir bawahnya yang bergetar. "...Meskipun kamu tidak melakukan apa-apa. Meskipun kamu hanya diam dan membisu, tidak akan mengubah fakta kalau manusia akan mati."

Ia diam sebentar lalu cepat-cepat menambahkan, "Mungkin kecuali Kaname."

"Dan lagipula, kalau kamu tidak punya tempat," Pelukan Nauka merenggang. Ia sedikit mundur untuk melihat wajah Ayuri. Tangannya mengusap pelan air mata wanita itu. "Kamu kan bisa ke... sini. Kamu punya tempat disini."

Ia kembali memeluk Ayuri.

"Mau ikut denganku?"

"...ke mana?" tanya Ayuri yang masih berada dipelukan pria tersebut.

Nauka meringis mendengar jawaban blo'on dari Ayuri.

"Kamu mau menganggapku teman?" tawarnya untuk sekian kalinya. "Ajakanku 7 tahun yang lalu masih berlaku."

"..." Ayuri terdiam sementara lalu pada akhirnya mengiyakan tawarannya Nauka. "...ya..." angguknya.

"Kalau nikah denganku mau?" lanjutnya.